Dalam khasanah
budaya Jawa kuno, sedikitnya ada empat ajaran filsafat kepemimpinan. Keempat
ajaran tersebut adalah; Ilmu Hasta Brata, Wulang Reh, Tripama,
dan Dasa Darma Raja. Ulasan mendalam tentang keempat ajaran tersebut
dapat dibaca antara lain dalam buku yang ditulis oleh Pardi Suratno berjudul “Sang
Pemimpin”. Dari keempat ajaran tersebut, Hasta Brata merupakan yang
(relatif) paling lengkap dan sangat ideal sehingga menarik untuk dikaji
menggunakan pendekatan konteks kekinian (kontemporer).
Ilmu Hasta Brata
tergolong ajaran yang sangat tua, mulai diperkenalkan melalui lakon pewayangan Wahyu
Makutharama. Wayan Susetya dalam bukunya “Kepemimpinan Jawa”
melukiskan kehebatan ilmu Hasta Brata ini sedemikian rupa sehingga dua orang
titisan Bathara Wisnu; Sri Rama WIjaya (Raja Ayodya) dan Sri Bathara
Kresna (Raja Dwarawati) menjadi raja yang besar. Sri Bathara Kresna kemudian
menurunkan ilmu ini kepada Arjuna. Dengan Ilmu Hasta Brata ini
pulalah Arjuna mampu melakukan koreksi terhadap kepemimpinan Dasa Muka yang
dikenal arogan dan angkara murka.
Hasta Brata adalah
ilmu tentang delapan (hasta) sifat alam yang agung. Pemimpin yang menguasai
ilmu Hasta Brata ini akan mampu melakukan internalisasi diri (pengejawantnhan)
kedalam delapan sifat agung tersebut. Dalam beberapa literatur juga disebutkan
bahwa delapan sifat alam ini mewakili simbol kearifan dan kebesaran Sang
Pencipta, yaitu; sifat Bumi, sifat Matahari, sifat Bulan, sifat Samudra, sifat
Bintang, sifat Angin, sifat Api, dan sifat Air.
Sifat
Bumi; adalah
memberikan tempat hidup bagi manusia, hewan dan tumbuhan. Dalam konteks
kekinian, sifat Bumi ini dapat diterjemahkan menjadi sifat seorang yang suka
memberikan perhatian kepada fakir miskin, dan kaum lemah. Seorang pemimpin yang
menguasai sifat Bumi akan mengarahkan kekuasaannya untuk mensejahterakan rakyat
dan mengentaskan kemiskinan.
Sifat
Matahari; adalah
menjadi sumber energi yang memberi kekuatan untuk menyokong kehidupan. Matahari
memberikan kekuatan pada makhluk hidup yang ada di bumi. Dalam konteks
kekinian, seorang pemimpin yang menguasai sifat Matahari dapat memberikan
inspirasi dan semangat kepada rakyatnya untuk menyelesaikan segala persoalan
yang dihadapi. Pemimpin yang menguasai sifat Matahari adalah ia yang siap
membela rakyatnya yang tertindas. Sifat pemimpin seperti ini diilustrasikan
dalam kisah Khalifah Umar bin Khatab yang “marah” ketika menemukan seorang
warga yang tanahnya akan digusur Gubernur Mesir secara semena-mena. Seketika
Khalifah Umar mengirimkan sepotong tulang yang digores pedangnya sebagai
peringatan agar Gubernur Mesir tidak semena-mena terhadap rakyatnya.
Sifat
Bulan; adalah menjadi
sumber cahaya bila malam tiba. Dengan demikian, hakekatnya Bulan adalah sang
penerang mahluk hidup dari kegelapan di bumi. Dalam konteks kekinian, seorang
pemimpin yang menguasai sifat Bulan adalah ia yang mampu menjadi penuntun dan
memberikan pencerahan kepada rakyatnya. Oleh karena itu pemimpin seperti ini
memahami dan mengamalkan ajaran luhur yang terkandung dalam agama (religiusitas)
dan menjunjung tinggi moralitas.
Sifat
bulan ini diterapkan oleh raja-raja Mataram, salah satu tandanya adalah dengan
memberikan status/posisi kepada Sultan Hamengku Buwono sebagai Senopati Ing
Ngalogo Ngabdurohman Sayidi Panoto Gomo Kalifatullah. Dalam konsepsi Jawa,
seorang pemimpin adalah sekaligus berfungsi sebagai ulama.
Sifat
Samudra; adalah
luas dan lapang sebagai simbol dari kelapangan dada dan keluasan hati. Dalam
konteks kekinian seorang pemimpin yang menguasai sifat Samudra akan mampu
menerima kritikan dengan lapang dada, siap diberi saran sekalipun itu oleh
bawahannya. Ia tidak akan melihat siapa yang berbicara, tetapi apa yang
dibicarakan. Ia akan menyediakan waktu dan selalu terbuka untuk menampung
keluhan rakyatnya.
Sifat
Samudra ini juga tercermin dalam praktek kepemimpinan raja-raja Mataram
dengan memberikan kesempatan kepada rakyatnya untuk mengajukan protes kepada
Raja melalui budaya pepe, yaitu berjemur di alun-alun sampai Raja
menemui dan mendengarkan keluhan mereka.
Sifat
Bintang; adalah
melukiskan posisi yang tinggi. Pemimpin yang menguasai sifat Bintang dalam
konteks kekinian adalah pemimpin yang memiliki kepribadian mulia sehingga
menempati posisi (maqam) yang terhormat dan dihormati. Singkat kata,
rakyat mencintainya sedangkan lawan menyeganinya.
Sifat
Angin; adalah dapat
masuk (menyusup) ke segala tempat. Sifat Angin dalam khasanah filsafat Jawa ini
diartikan sebagai suatu bentuk ketelitian dan kehati-hatian. Dan dalam konteks
kekinian pemimpin yang menguasi sifat Angin adalah ia yang selalu terukur
bicaranya (tidak asal ngomong), setiap perkataannya selalu disertai
argumentasi serta dilengkapi data dan fakta. Dengan demikian pemimpin yang
menguasai sifat Angin ini akan selalu melakukan check and recheck
sebelum berbicara atau mengambil keputusan.
Sifat
Api; adalah
membakar apa saja, tanpa pandang bulu. Besi sekalipun bisa leleh dengan Api.
Dalam khasanah filsafat Jawa, Api dimaknai secara positif sebagai simbol dari
sifat yang tegas dan lugas. Dalam konteks kekinian, seorang pemimpin yang
menguasai sifat Api adalah ia yang cekatan dan tuntas dalam menyelesaikan
persoalan. Juga selalu konsisten dan objektif dalam menegakkan aturan, tegas
tidak pandang bulu dan objektif serta tidak memihak.
Secara
ilustratif, pemimpin yang menguasai sifat Api ini digambarkan dalam kisah
seorang Raja yang dengan tegas menghukum cungkil satu mata kepada anaknya
sendiri, tetapi setelah itu ia menyerahkan satu matanya untuk mengganti mata
anaknya yang sudah di cungkil tersebut. Demikianlah, seorang pemimpin yang
menguasai sifat Api, ia dapat membedakan antara penegakkan hukum dan kasih
sayang terhadap keluarga.
Sifat
Air; Berbeda dengan
Samudra yang lebih mewakili sifat luas (lapang) hati, Air memiliki sifat yang
selalu mencari tempat yang rendah. Begitu pula pemimpin yang menguasai sifat
Air, ia akan selalu rendah hati dan tidak sombong apalagi semena-mena kepada
rakyatnya.
Meskipun tergolong
tua, ilmu Hasta Brata adalah salah satu dari sekian banyak ajaran-ajaran
filsafat kepemimpinan Jawa. Generasi selanjutnya juga mengajarkan filsafat
kepemimpinan sebagai terjemahan lebih lanjut dari Ilmu Hasta Brata ini,
misalkan ilmu Manunggaling Kawula Gusti yang mengajarkan bagaimana
filsafat kepemimpinan yang menyatu dengan rakyat tetapi dekat dengan Tuhan.
Ajaran Manunggaling Kawula Gusti ini mencoba mengambil ajaran Hasta
Brata menjadi satu intisari ajaran filsafat kepemimpinan.
Selain itu juga
terdapat generasi filsafat kepemimpinan Jawa yang tergolong baru, yaitu Trilogi
Kepemimpinan-nya Ki Hajar Dewantara; Ing Ngarso Sungtulodo, Ing Madyo
Mangunkarso dan Tut Wuri Handayani. Meskipun demikian, (hampir)
semua ajaran filsafat kepemimpinan Jawa tersebut bersumber dari Ilmu Hasta
Brata. Sebab ajaran Hasta Brata adalah (dapat dikatakan) satu visi kepemimpinan
yang relatif paling ideal dalam konsepsi ajaran filsafat kepemimpinan Jawa.
Saking idealnya sehingga seakan-akan tidak mungkin ada seorang pemimpin dapat
menguasai kedelapan sifat alam tersebut. Oleh karena itulah kemudian para
filsuf mencoba menurunkannya menjadi beberapa generasi ajaran filsafat
kepemimpinan yang lebih spesifik.
Seperti umumnya
filsafat, ajaran Hasta Brata sepatutnya menjadi landasan kebathinan yang
memberi motivasi kepada kita, khususnya bagi mereka yang meyakini ajaran
filsafat kepemimpinan Jawa dan ingin menjadi pemimpin yang berhasil menegakkan
kebenaran untuk memerangi kebathilan. Bukankah Nabi Muhammad SAW mengatakan
bahwa; “Setiap kamu adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas
kepemimpinannya”.
Sumber :
http://sosbud.kompasiana.com/2012/04/15/hasta-brata-delapan-sifat-unggul-pemimpin-454712.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar